Featured post

Aku, Ojol & NMax: Sebuah kisah tentang Keinginan vs Kebutuhan

Kamis, 13 Juli 2023

Sejak berkantor di bilangan Jakarta Selatan, walau hanya perlu dua kali seminggu ke kantor, dan setelah mencoba beberapa moda transportasi, akhirnya saya menjatuhkan pilihan untuk menggunakan jasa Ojol, pergi dan pulang. Lumayanlah, 45-50 menit perjalanan dengan motor.

Karena perjalanan saya cukup jauh, kadang dalam hati terbersit, pengen lowh, dapet ojolnya yang motornya NMax, karena dudukan penumpang lebar, jadi kuranglah rasa pegal dibagian-bagian tertentu. Hanya saja, karena saya memilih memakai jasa ojol dengan tarif yang lebih rendah, probabilitas mendapatkan driver dan Nmax agak kecil.

Kamis, 6 Juli, jam 7 pagi. Jadual ke kantor. Pesan ojol, sambil mbantin, kalau mau dapat NMax, ya harus pesan ojol yang tarifnya lebih mahal. Tapi ya, saya tetap pesan saja lewat aplikasi ojol yang biasa. Saat konfirmasi driver masuk, saya tercenung. Driver H, nopol dan motor NMAX. Sepanjang perjalanan, saya tak habis terpukau, sambil nyengir sepanjang perjalanan, tak bisa berkata-kata. (untunglah pakai masker, kalo ndak orang pasti pikir saya kenapalah..). Setibanya di lokasi, tentu saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Langsung minta nomor kontak drivernya. Simpan. Kalo ke kantor lagi, saya mau Ojol + Nmax.

Sabtu, 8 Juli, jam 9 pagi. Keluar unit, bersiap ke gereja, berjalan beberapa langkah, saya tergelincir di koridor, jatuh tergeletak. (Oh iya, saya tinggal di kompleks apartemen di daerah BSD). Puji Tuhan ketebalan bantalan bawah menyelamatkan saya dari patah atau retak. Menyisakan pegal dan ngilu di beberapa bagian saja.

Kamis, 13 Juli, jam 7.20 pagi. Masih ada pegal & ngilu di bagian tertentu, tapi harus ke kantor. Kontak ojol + Nmax langganan, (cieeee udah punya ojol NMax langganan….) berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, saya bercakap dengan diri sendiri, seolah, sudah disediakan. Sebelum saya jatuh, sudah punya driver ojol bermotor Nmax. Setelah jatuh, saya jadi bisa ke kantor dengan motor yang meminimalisir pegal tambahan.

Kamis, 13 Juli, jam 5 sore. Karena driver ojol + Nmax nya tak bisa jemput, saya pasrah, ya sudah Tuhan, saya pasti bisa pulang, apapun juga motornya nanti. Paling nanti minta drivernya jalan alon-alon biar tak terlalu terguncang. Maklum, pinggang masih kurang nyaman. Pesan lewat aplikasi, dapat konfirmasi, Driver B, nopol dan motor NMAX. Kalau bukan sedang berdiri di tempat keramaian, mungkin saya sudah tertawa terbahak-bahak sambil berteriak “TUHAN, LOE EMANG GA ADA MATINYA DAH!”

Selama bertahun-tahun, saya memegang beberapa ayat Alkitab sebagai koncian saya. Salah satunya, dari Mazmur 37:4, dan bergembiralah karena Tuhan; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu.

Saya tak tahu, apakah saya sungguh sudah bergembira karena Tuhan dalam kehidupan keseharian saya. Yang saya tahu dan alami selama ini, Tuhan menjawab doa, sesuai kebutuhan. Tapi Kamis, 13 Juli, Tuhan memberikan kepada saya, apa yang menjadi keinginan hati saya. Keinginan recehan, Ojol + Nmax. Sebagai catatan, saya tidak sedang jadi endorser untuk Nmax, tapi sekarang saya punya nomor kontak 2 driver ojol bermotor Nmax. Sesuatu yang selama ini saya pikir tidak mungkin terjadi.

Saya tak tahu juga, ke depan apa yang akan terjadi dalam hari-hari kehidupan saya. Tapi selain Mazmur 37:4, saya juga mengamini Roma 8:28, Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.

Antara kebutuhan vs keinginan, Tuhan memberi yang terbaik, walau sering kali, caraNya, tak mudah dimengerti. Tuhan Yesus memberkati.

Featured post

MEMENTO MORI

Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran.

Pengkotbah 7:1

Tahun 2021 baru berjalan kurang dari 3 bulan, namun sejak 27 Februari sampai 12 Maret, dalam kurun kurang dari 2 minggu, saya dan keluarga sudah mengalami kehilangan 4 orang yang kami kenal bukan hanya sekedar nama saja, tapi mengenal mereka secara dekat. 2 orang anggota keluarga besar dari pihak ibu mertua, 1 orang teman SMP yang saya kenal dekat, dan 1 orang teman anak saya yang sudah kami kenal sejak mereka masih SMP.

Kepergian mereka meninggalkan duka dan rasa tak percaya, karena jaraknya terlalu berdekatan. Rasanya belum selesai menangis untuk yang satu, sudah dipukul lagi dengan kepergian yang lain. Saya pribadi butuh waktu untuk bisa beradaptasi dengan rasa kehilangan yang terjadi. Namun, peristiwa peristiwa kematian itu, membuat saya merenungkan sebuah kalimat dari bahasa Latin, Memento Mori, yang diartikan sebagai ‘remember that you [have to] die’ Setiap orang PASTI mati.

Banyak orang bersukacita saat merayakan hari kelahiran, bahkan mengadakan pesta sebagai bentuk pengucapan syukur atas kelahiran atau atas bertambahnya usia. Namun tak sedikit orang yang lupa mempersiapkan hari kematiannya. Membicarakan kematian seperti tabu. Tak sopan membicarakan kematian di tengah orang-orang yang masih hidup. Bahkan tak sedikit orang yang tak mau membicarakannya, karena takut akan kematian.

Penulis kitab Pengkotbah tegas mengingatkan, tentang hari kematian dalam Pengkotbah 7 ayat 2, “Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya.” Ini adalah sebuah kenyataan mutlak yang tidak bisa diganggu gugat. Semua orang pasti mati. Memento Mori.

Pada ayat 4 di pasal yang sama, juga dikatakan “orang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria.” Pertanyaannya, mengapa orang berhikmat senang berada di rumah duka? Apakah karena mereka kurang kerjaan? Tentu bukan. Orang berhikmat suka berada di rumah duka, karena di sanalah mereka bisa merenungkan bukan cara orang mati dan mengingat cara orang hidup.

Semua orang pasti mati, yang membedakan adalah cara orang yang meninggal, menjalankan kehidupannya.

Setahun terakhir, kematian tidak lagi bisa dihayati seperti sebelumnya. Orang sudah tidak bisa lagi berkumpul di rumah-rumah duka atau pergi beramai-ramai menghantar ke tempat peristirahatan abadi, sebagai bentuk penghormatan terakhir. Orang yang meninggal, terkesan seperti pergi dalam kesendirian, dalam kesepian, dalam keheningan. Dalam situasi seperti itu, yang paling sedih tentulah mereka yang ditinggalkan. Sudahlah berduka karena kehilangan, masih ditambah lagi tak bisa menghantarkan untuk yang terakhir kalinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang tersisa dari orang-orang yang sudah pergi mendahului kita? Apa yang bisa mengurangi rasa sedih karena kehilangan? Memori. Kenangan tentang orang-orang terkasih yang sudah lebih dulu pergi meninggalkan kita, karena dimuliakan Tuhan ke Surga.

Hal inilah yang menjadi bahan perenungan, dalam memaknai kematian dari orang-orang yang kita kenal dekat. Seringkali, orang melupakan cara mereka hidup. Menjalankan kehidupan biasa-biasa saja, tanpa memikirkan, saat nanti dipanggil pulang, kenangan apa yang masih bisa menjadi penghiburan bagi orang-orang yang ditinggalkan.

Saya lalu mengingat kenangan yang ditinggalkan oleh kedua orang tua saya yang meninggal belasan tahun lalu. Sampai hari ini, jika jumpa dengan orang-orang yang mengenal mereka, cerita-cerita yang dibicarakan tak jauh dari bagaimana kesetiaan papa dalam melayani Tuhan atau betapa baik, ramah dan jago masaknya mama. Sebagai anak, sampai hari ini saya masih terus menyimpan merasa bangga pada kedua orang tua saya, sekalipun mereka sudah lama tiada. 

Mengutip tulisan singkat dari salah seorang teman suami saya,

Ingatlah, hidup kita tidak dinilai dari awalnya, tetapi ditentukan oleh  akhirnya.

Hidup kita tidak diukur dari kekayaan yang kita kumpulkan dan  tinggalkan, tetapi oleh apa yang sudah kita lakukan, itulah yang akan dinilai dan dikenang pada hari kematian.

Mari jalani hidup dengan bijaksana, jangan buang waktu dengan hal yang sia-sia

Hidup ini ibarat pertandingan yang harus dimenangkan, isilah dengan kebaikan, peliharalah iman dalam kesetiaan hingga saat kematian .

Jangan fokus semata pada keduniawian, fokuskan diri pada Tuhan, agar kita masuk dalam kekekalan serta merasakan damai dan kebahagiaan sejati dalam keabadian.

Memento Mori mengingatkan kita, bagaimana kita menjalankan bagian kita untuk menjadi berkat, memberi manfaat positif bagi banyak orang, menjadi penebar benih baik, hingga akhirnya saat dipanggil pulang ke Rumah Bapa di Surga, akan menjadi warisan penting bagi orang-orang yang ditinggalkan.

Memento Mori mengingatkan bahwa “Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran.”

Featured post

Fandom World – The Birth of Soul Sisters

Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat yang lebih karib dari pada seorang saudara. (Amsal 18:24)

God’s gift: Family, Friendship, Good Meal and Sunny Day

Fandom world was a new thing for me many years ago. I started my first with Twilight followed with few other actors and singer and lasted with Ben Barnes from Narnia in 2010. I made new friends every time I was in a certain fandom world.  Some friends are still in contact but most of them were gone with the wind.

There was a day, when I woke up with grateful heart. All I can remember was how great my life in the hand of my Savior is. Then a struck of memory brought me giggles. I remembered one long funny chat about kidnapping plan that I had with my friends in one WAG.  I am not a good writer, but this one event tickles my heart to write a story about friendship, which born from the Fandom World.

It was Elise, my friend from Twilight fandom who brought me to a group of women, called themselves as “CDrama Lovers.” Not that I agreed to join, but Elise has this kind “do first, report later” principle, that made me entered the group without my consent. But I never then regret it. My first interaction with the members was surprisingly fun and heart-warming. It happened that I was the eldest among the other 11 members. But for sure, my knowledge about Chinese-Korean-Japanese-Thai drama was kindergarten level compare the rest of other members. So being with them was like entering the grand library to seek anything I need to know about drama world.

We spoke a same “love to the Eternal Love of Dream drama” language.  Since it was on-going drama, we were always have long-witty-heart wrenching-chat about each episodes, the casts, the story, and of course how the couple made our heart ballooning. Isn’t it always fun, when you were in fandom world and you can meet friends with the same interest? In only a short time, this group becoming a compliment to my cup of morning coffee, my first to visit after my wake-up every morning- prayer.

Till one day, one of my friend drop an issue about underage girl who joined an adult WAG. We were quite intense in discussing how to handle that kind of situation. Kind of weird actually, how we concerned about an issue outside our WAG. Then, out of the blue, another friend asked us to send our ID, to make sure that no one in our group was underage. It was funny request, but the funnier came after that. I sent my ID, followed by all the others. (And the funniest part, now I have 11 IDs in my HP memory, which always makes me smile every time I remember, the reason I can get them). That was the moment, where the story began.

We flipped from discussing the underage girl to discussing years of birth and marital status. We chatted about some terminologies that not too common and too blatant. Then each member started to share their thoughts and experience towards marriage. A real heart to heart chat, which I never imagined I could experienced in WAG, with friends I never met and only knew each other for few months.  

Following to that, we started to call each other using Chinese term, though not all of us have Chinese blood. My good fellow Nat even made matrix level on how we can use it.

I collected fun facts about our birthdays

Nat (as usual, she’s the wise Zhe Yan) and I (a little assistance to what she’s done) describing us in words. (I put the original in Bahasa Indonesia, because it’s worth of love)

Adding to our craziness, we have tens of thousands of conversations, hundreds of videos, gifs and stickers. And using my power as Da Jie, the ancient deity, I decided we will stick as exclusively 12 members only. I have my own personal egoistic reason and the rest of the members’ just need to agree with my decision (I am too powerful on certain issues).

I’m not saying that I always in my happy mood. To be honest, sometimes I felt frustrated. When I posted about my bias (Dylan Wang Hedi), and no one takes it. (That’s only crumbs of fungurling). Besides that, I have eleven friends, each of whom is a unique, attractive, and sometimes so bloody annoying and shameless too (I quoted this from my Zhe Yan, Nat). But I have something more to be grateful.

We, a group of women who lives in different cities and continents, but always have time to check in. A group of women who shares their love and hate to Chinese-Korean-Japanese-Thai Dramas, actors and actresses, whom proudly call themselves as “Eonnie halu & mesum gaje” (Unclear perverted hallucinating sisters). A group of women who have scattered minds and many times resulting mixed conversations which sometimes difficult to follow but unbelievably caused burst of laughter.

In less than 6 months, we grew into a group of women with a strong bond. We became a group of soul-sisters, who stay awake till late to read, give advises, suggestion and help for whoever poured their frustrations or need assistance. One of the mementos was when we cried all together for one of our sisters who lost her husband, and really tried our best to pamper her. I kept her words and strongly felt it is important to put them in my writing, because those words represent my thoughts about us.

Thank you Da Jie, trust me, you’re all has done more to support me, whether intentionally or unintentionally, you show kindness that really touches my heart, something that I really need right now. Maybe you’re all angels sent by the Lord to help me during my difficult times. God’s length hands to show me He will never leave me alone. Once again, thank you my soul sisters…

The time spent with them, worth every second.  Sometimes I am just reflecting what have I done in my previous life (if I ever had one), so that I am blessed with a pack of wonderful friends? We are not sisters by blood, but sisters by heart. We are soul-sisters, born from Fandom World.

I WISH TO KEEP EACH ONE OF YOU AS LONG AS I CAN

Featured post

Antara IQ dan Kepintaran

Kisah inspiratif, bisa datang dari siapa saja, kapan saja, di mana saja.

Hari ini, gw ktemuan (lagi) sama salah satu sepupu dari pihak almarhumah nyokap gw, untuk yang ketiga kalinya. Dan baru kali ini, gw bisa foto bareng sama dia, karena ngerasa udah waktunya, gw ngangkat tulisan tentang dia. (udah ijin ya Kie..)

Tulisan gw kali ini terinspirasi saat gw pertama kali janjian ketemu sama Okie, sepupu gw ini. Awalnya mau ngobrol prospek kerjaan buat gw dan bisnis start up yang lagi dia rintis. Duduk di sebuah resto dimsum di Grand Indonesia,(jujur, gw baru sekali ini masuk GI, untunglah gw ga ilang di dalem), ngobrol panjang lebar tentang visi dan rencana-rencana sepupu gw yang bikin gw terpukau. Di kepala gw doang gw bisa komen.. “Ni anak bright amat ya..” btw, dia belasan taon di bawah gw umurnya.. (kali-kali ada yang nanya.).

Akhirnya tercetuslah pertanyaan kepo gw, “Kie, IQ loe brapa sik?” Dengan muka lempengnya (muka lempeng dalam arti sesungguhnya..) dia bilang “waktu TK, 95 sih cie.” Gw bengong. 95? Terus dia nyambung “tapi saya tu beruntung, karena koko-koko saya (dia punya 2 kakak laki-laki yang gw rasa sama pinternya kayak dia), ngajarin saya macem-macem. Cara baca jam, hitung ini, hitung itu. Jadi pas saya masuk TK, saya udah lebih banyak tau duluan dari yang lain. Dan guru pikir saya pintar.”

Okeeee… terus dia nyambung lagi ““Karena guru selalu bilang saya pintar, dan memperlakukan saya secara istimewa sebagai anak pintar, saya akhirnya percaya kalau saya memang pintar.” Hnah ini dia gongnya! Dan dia emang pintar beneran sih pada akhirnya..

T’rus dia nambahin “Saya percaya setiap manusia punya kepintarannya sendiri-sendiri. Hanya pintarnya dimana, bisa jadi setiap manusia beda-beda. Tapi sistem pendidikan kita cenderung mengesampingkan anak yang ‘lambat’ karena dianggap bodoh atau kurang pintar.” Ini nohok banget. Orang tua dan guru, kadang tidak selalu berhasil melihat kemampuan seorang anak hanya karena dia lambat belajar atau lambat melakukan sesuatu.

Yang menarik dari percakapan dengan sepupu gw ini, adalah bagaimana seorang anak yang di masa kecilnya dibilang pintar karena dia lebih tahu dari anak lain, lalu diperlakukan sebagai anak pintar. Dan perlakuan istimewa yang dia terima, membuat dia percaya kalau dia pintar. Dan ternyata, itu mempengaruhi IQ di masa dewasanya. Hasil tes IQ setelah dia mulai bekerja, selalu ditulis “Superior”

Ini jadi catatan penting yang pengen gw share buat para orang tua, khususnya yang masih punya anak balita. Bahwa setiap anak pintar. Perlakukan mereka sebagai anak pintar. Lihatlah bagaimana mereka akan bertumbuh, dengan percaya diri bahwa mereka pintar.

Catatan juga buat kita semua, termasuk gw sendiri.. orang pintar, bukan diukur dari IQ semata, tapi juga dari banyaknya pengetahuan yang dimiliki seseorang. Informasi dan pengetahuan yang diketahui lebih dulu dari orang lain, membuat seseorang lebih “pintar” dibanding orang yang lain.

“Knowledge makes power” Banyak-banyaklah membaca, banyaklah berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki aura positif dan membangun. Pakailah gadget untuk menambah pengetahuan akan hal-hal yang bermutu. Biar jadi orang “pintar” kayak sepupu gw ini..

Featured post

Wedding Story: The Bride, her Tooth and runaway Ring

A memory from many years ago. A note to 21 years celebration of stronger love

Every girl has her own dream. Though not like most girls, I also had a dream, that someday, I could get married, to a man, close to my expectation. The journey was not as easy as I thought. But finally, I met the man of my dream. An Ambonese guy who made me laugh all the time and can easily accept my addiction to food. We prepared our wedding in full excitement.

The story began here. The wedding invitations have been delivered to every single invitee. I went to work. It was a usual Saturday morning, a week before my wedding. 7 February 1998. When I arrived at the office, one colleague asked me to have breakfast at Soto Blok M, near the office. Following my addiction to food, though I had my breakfast less than an hour before, I took the invitation with gusto.

I was hoping lightly, back to my desk to take my purse. When I almost reached the door, I slipped. What happened next was vague. I didn’t know what happened. What I knew only, I saw something popped out of my mouth. A few moments later I found out, it was a part of my front tooth. A three-quarter of it.

After a moment of hysterical episode, a few calls to my mom, my future husband and a dentist, I went home. A bride to be, lost her three-quarter of her front tooth, with a smile of Pippi Long-Stocking, a week before the wedding. My mom was crying. My future husband could not hold his laughter. My sisters stood in shock.

Well, there would be no wedding call-off. So we did every single thing to fix my tooth within a week. Voila! I was ready to get married on time.

The big day came. My tooth was back to its place and looked quite pretty. No problem. At least I didn’t have to go to the Church with the look of Pippi Long stocking. I was well prepared to go to the Church and received the blessing for my marriage. The holy matrimony process went smoothly and sweetly. I even could say my marriage promise without a break. I remembered every single word. It was perfect. Then we were ready to exchange rings. My man did his part smoothly. Nothing would go wrong with me, right? Well, you can hope for the best. But sometimes, you must prepare for the worst too. When I took the ring from the Pastor’s hand, it slipped off my fingers, fell down and rolled. A big laughter burst from the congregation. What the?? It took few seconds, in panic mood to find the ring. I was lucky, it didn’t go too far. It only went under my skirt. My husband, who has the heart of an ocean, smiled and gave me the look of “it’s OK, I knew this gonna happened. I was well prepared for this” Blushing, along with chuckled friends and my grinning Priest, we continued and finished the whole process till the end.

When I look back, I am truly very grateful. My tooth and my ring incidents were few of the unforgettable embarrassing stories to tell, but they were also part of the moments to remember. A funny story as a reminder to myself, how blessed I am to have a man, who love me with his whole heart, as my life partner for the last 21 years.

Featured post

Simple Life Note: 24 hours – Father

This is a simple note about one unforgettable moment of life beauty. A note from a man who became a 24 hours – father. A note from my husband. Translated into English on his permission.

Glen S Tanihatoe, October 2004

This note began when an expected great news arrived, three months after the beautiful moment of holy matrimony, the day we sealed our love with eternal promise to love and cherish till death do us part.

My wife got pregnant. I was preparing myself to become a father. A great responsibility given from the Creator. I remembered vividly, the baby grew perfectly. During the pregnancy period, we experienced no complication. When the pregnancy getting older, I sometimes saw the baby kicking and move circling the belly. We went to one senior obstetrician and follow the regular check-ups completely for 9 months. We, and the big family members joined this happiness with one wish, a safe birth process.

On 14 December 1998, my wife felt the birth signs. The long-waited day has come. We went to the hospital, arrived at 4 pm and ready for further examination. Finally, after the painful hours my wife has been through, the baby was ready to see the world for the first time.

Life is sometimes unexpected. For one short moment, we were rejoiced but only in one blink of an eye, everything has changed. I heard the nurse shout, “The fetal membrane is dark green!” “Call the doctor, now!” It was chaotic. When the doctor arrived, he helped the delivery process as quick as he can. He found out that the baby need more assistance. He must vacuumed the head, to help the baby out of the womb.

I heard my baby cried. A cry from one little born baby. Our little angel. The perfect gift from God to our family. One important and full of meaning moment. A father. I felt jubilant.
But only few minutes after that, my world, again, turned upside down. Our baby had complication. The hospital is not well-equipped. We must go to bigger hospital. I was totally confused. Less than one hour, I have to left my wife alone, my baby was inside the incubator with oxygen aid and within 45 minutes transferred to bigger-well-equipped hospital. What would happen to him? What would happen to us?

The following hours felt like nightmare. I struggled to understand what exactly happened. His lungs fully covered by sticky fetal membrane. He cannot breathe. The doctors must found other way to make him breathe. Immediate actions have to be taken, including slicing his scalp to find blood vessel, to stream the pure oxygen. All the actions made me cry. He’s not even 24 hours old, he just too small to experience all the painful process. I wish, I can do something to obviate the pain from him.

Nothing, as a father, that I can do to help him. I only stood in front of the NICU room, starred at my baby with devastating feeling. I saw his feeble heartbeat and one single breath, with all medical equipment around him, to support his life. “Dear God, I surrender now. Please give him strength. To You only I pray.” I fell a strong urge to scream but I have no longer strength to do so. That time, I even felt that my pray only reached the hospital’s ceiling.

“There is a time for everything, and a season for every activity under the heavens; a time to be born and a time to die.”

I sat silently. I tried my best and pray for him. I had heard his first cry. I had seen his tiny angelic baby face, felt his first breathe, and heard his first heartbeat. I had caressed his chick and his soft hands. He was my son and I was his father.

I know that the Creator has the authority. He can give but He can also take. The next day, on December 15, 1998. He took my son back to HIS arm. I called my wife, 24 hours after the birth and told her, “Our son has gone.” I remembered she said, “Bung, God knows the best. Praise the Lord.”

Life is short. “They are like a breath; their days are like a fleeting shadow.” We never knew, when the time is come. When I remembered HIS goodness in our life, I was relieved. I have done my part, my responsibility as a father, though it was only for 24 hours.

4 months after one of the greatest unforgettable moment in our marriage life, God granted us another chance to have a baby. 18 January 2000, a baby boy was born. We both knew, he was not a substitute to our first, Hizkia Barrack. He was the chance for us, through the experience of losing one child, to become a stronger and wiser parents.

Saat Menabur Benih Baik menjadi Gaya Hidup

Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.

Galatia 6:9

Sejak tahun 2014, aku punya satu kerinduan, yang menjadi semakin kuat setiap harinya. Saat aku dipanggil pulang ke Rumah Bapa di Surga, aku sudah meninggalkan jejak iman dan jejak kebaikan yang memberkati banyak orang. Aku ingin diingat sebagai hamba yang menjalankan tugasnya sebagai penabur benih baik.

Menabur benih baik, tentu tak perlu menunggu sampai punya uang berlimpah. Menabur benih baik sudah menjadi gaya hidup. Memberi, karena sudah menerima. Memberkati karena sudah diberkati. Tapi justru itu yang membuatku merasa tak cukup. Karena aku dan keluargaku menerima berkat yang sudah tak terhitung jumlahnya. Aku ingin bisa membantu, memberi kepada dan memberkati lebih banyak orang. Aku meletakkan kerinduanku di kaki Tuhan. Menangisi dan mendoakannya selama bertahun-tahun.

Aku ingin bisa membantu lebih banyak anak di Kalimantan yang selama ini hanya menerima 150 ribu yang kukirimkan setiap bulannya. Aku ingin bisa membantu lebih banyak lansia di gereja, yang saat ini hanya satu yang bisa ku kirimi madu setiap bulannya. Aku ingin bisa membantu lebih banyak anak di Nias,  yang saat hanya bisa menerima kiriman baju layak pakai. Aku ingin bisa membantu lebih banyak gereja di daerah terpencil, yang saat ini hanya bisa kubantu 500 ribu. Aku ingin bisa mewujudkan mimpi bersama suamiku, mulai melakukan perjalanan menabur lebih banyak benih baik di tahun 2023.

Aku tahu ada banyak cara untuk bisa memiliki kebebasan finansial dan kebebasan waktu. Tapi aku juga mengenali situasiku. Sudah tak terlalu banyak pilihan. Mau kerja lagi, sudah tak mungkin. Aku sudah jadi fosil. Mau buka usaha, apapun itu, pasti butuh lebih dari sekedar modal yang tak sedikit.

Saat sepupuku Risa mengirimkan Clover Honey, (madu kekinian itu..) aku percaya, itu bukan kebetulan. Melaluinya, aku bisa bergabung dalam keluarga besar HDI. Kebanyakan orang  melihat bisnis HDI hanya dari sisi MLMnya. Atau cerita-cerita suksesnya. Tapi aku melihat dengan kacamata yang berbeda. Perusahaan ini punya prinsip yang terus didengungkan. Memberi dan berbagi. Bahagia itu hanya bisa dicapai dengan memberi. Semakin banyak memberi, menabur benih baik dan memberi manfaat, kebahagiaan akan semakin utuh.

Aku tak segan mengutip pesan Mr. Brandon Chia, chairman & CEO HDI, “in HDI, success measured by how big is the positive impacts that you bring to the people around you.” Pesan ini mewujudnyata. HDI punya Sekolah Selamat Pagi Indonesia, sekolah gratis untuk anak-anak yatim piatu atau anak-anak yang tak punya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan berkualitas karena kondisi keuangan. Tak berhenti sampai disitu, HDI bersama Benih Baik, yang salah satu pendirinya adalah Andy F. Noya.  mencanangkan goal 10 ribu anak Indonesia bisa  lulus S1 di tahun 2030.

Bicara kecukupan, aku sudah sangat berkecukupan. Tapi justru sangat berkecukupan membuatku merasa tak cukup, kalau aku tak bisa berbuat lebih banyak, melakukan hal-hal bernilai kekekalan. Apa yang sudah dan sedang HDI lakukan, menjawab kebutuhanku untuk mencapai mimpiku. Bergabung dengan HDI bukan hanya soal MLM, bukan soal jualan dan mendapatkan keuntungan. Tak sesederhana, mendapatkan kebebasan finansial, kebebasan waktu. Tak sekedar bisa membeli rumah besar, mobil mahal atau jalan-jalan keluar negeri.

Bukan itu. Menjalankan bisnis ini, justru memberiku kesempatan untuk membawa manfaat bagi kehidupan banyak orang. Menjalankan bagianku menjadi berkat. Menjadikan menebar benih baik sebagai gaya hidup. Hingga akhirnya, meninggalkan warisan iman dan warisan kebaikan saat aku dipanggil pulang.

Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan.

Amsal 11:24